Namaku Wulan, aku terlahir seperti layaknya anak-anak lain namun sekarang aku buta. Aku anak tunggal di keluargaku. Kedua orang tuaku sudah meninggal, aku tinggal bersama tanteku di sebuah rumah yang ditinggalkan orang tuaku. Sekolahku hanya sampai kelas XI SMA. Aku putus sekolah karena aku malu, teman-temanku mengejekku karena aku buta.
Waktu itu aku bersama keluargaku sedang dalam perjalanan menuju puncak untuk berlibur. Kami sudah merencanakan untuk berlibur ke puncak. Namun di tengah perjalanan mobil kami di tabrak oleh truk besar yang sedang melintas di depan mobil kami. Setelah aku sadar aku tidak bisa melihat apapun, semuanya hitam. Aku bertanya pada diriku, ‘ada apa ini? Mengapa gelap seperti ini?’
“Ibu, Ayah,” aku berteriak sambil menangis, lalu ada suara yang menghentikan tangisanku.
“Kamu ada di rumah sakit. Kamu dan keluargamu mengalami kecelakaan.”
“Ayah dan Ibu saya mana dok? Mengapa saya tidak mendengar suara mereka? Dan mengapa semuanya gelap? Saya kenapa, Dok? Kenapa?” tanyaku kepada dokter sambil menangis.
“Wulan yang sabar ya? Mmm, kami sudah berusaha semaksimal mungkin namun Tuhan berkehendak lain.”
“Nggak, Dok. Nggak mungkin. Dokter bohong. Nggak mungkin, Dok,” aku berteriak dan merasa ini mimpi buruk, namun ini kenyataan.
“Wulan maafkan kami, mata kamu buta, yang sabar ya?” aku hampir tak percaya bahwa ini semua nyata bukan mimpi.
Semenjak aku ditinggal kedua orang tuaku, aku menjadi penyendiri dan tidak periang lagi. Hari pertama aku berangkat sekolah dengan mata buta tidak mudah. Aku berangkat diantar tanteku. Setelah aku sampai di sekolah, teman-temanku kaget melihat aku seperti ini. Memang aku tidak menceritakan kejadian itu kepada siapapun kecuali tanteku. Setelah mereka tahu kalau aku buta, mereka menjauhi aku. Di sekolah aku tidak mempunyai teman sampai akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari sekolahku.
Semenjak aku keluar dari sekolahku, aku memutuskan untuk tetap berdiam diri di rumah. Tidak banyak yang aku lakukan selama di rumah. Aku merasa dunia ini tidak ada artinya lagi. Pernah aku mencoba untuk bunuh diri, namun tanteku menggagalkan rencana ku. Dalam hidupku hanya ada warna hitam, tidak seperti yang dulu dunia ku penuh warna-warni keindahan.
Dulu sebelum aku mengalami kecelakaan, hobiku adalah melukis. Suatu hari aku teringat waktu aku bertanya kepada ibuku mengapa namaku Wulan dan ibuku menjawab bahwa Wulan sama artinya dengan rembulan, dan rembulan itu menyinari disaat bumi ini gelap. Ibuku memberi nama aku Wulan agar aku bisa menerangi hidupku serta hidup orang lain.
Saat aku teringat perkataan ibuku, aku mencoba untuk kembali melukis. Sedikit demi sedikit aku menggoreskan cat air ke kanvas, tapi aku tidak bisa. Aku gagal. Walaupun tanteku berkata bahwa lukisanku bagus, tapi aku yakin tanteku berbohong. Aku hampir putus asa namun aku bermimpi dan di dalam mimpiku ibuku berkata, “Lukisanmu sangat bagus, Nak. Jangan kau hentikan apa yang sudah menjadi bagian dari hidupmu. Ibu yakin kamu bisa. Kamu bukan anak yang lemah. Kamu wanita yang kuat yang tidak mudah putus asa.”
Setelah aku bangun dari tidurku, aku menangis. “Ibu, Ibu dimana, Bu? Ibu gag sayang sama Wulan. Ibu ninggalin Wulan. Semuanya gelap, Bu. Wulan buta. Wulan buta, Bu.”
Tiba-tiba tanteku membuka pintu kamarku. Aku langsung memeluknya. Setelah aku mendengar ucapan ibuku walaupun hanya dalam mimpi, semangatku mulai kembali. Aku berfikir, aku tidak boleh terus menerus seperti ini. Hidup harus terus berjalan. Aku mencoba melukis membentuk sebuah bulatan. Aku ingin melukis diriku sendiri yaitu bulan. Bulan yang indah. Aku melukis dengan mata hatiku dan aku percaya aku bisa. Setelah lukisanku jadi, ku persembahkan kepada tanteku.
“Kamu melukis bulan, Sayang? Bulannya cantik sekali seperti kamu, Lan.”
“Ini untuk Tante. Aku mencoba untuk melukis diriku sendiri, Tante. Walaupun hasilnya tak sebagus yang dulu aku kerjakan.”
“Ini indah, Sayang. Tante bangga sama kamu.”
“Aku ingin memulai hidupku yang baru. Aku yakin aku bisa walaupun Tuhan tak mengijinkanku melihat dunia ini, tapi aku masih punya tante yang akan mewarnai hidupku.”
“Iya, Wulan... Hidup harus tetap berjalan.”
Seiring berjalannya waktu, aku mengisi hari-hariku di rumah dengan melukis. Lukisanku selalu berbentuk bulan karena aku ingin menunjukkan kepada ibuku bahwa rembulannya kini sudah kuat menghadapi dunia yang penuh kegelapan ini. Aku ingin ibu bangga dengan hasil karyaku. Walaupun sampai sekarang aku tak berani untuk keluar rumah.
“Wulan, apa kamu nggak pingin menghirup udara segar?”
“Nggak, Tante,” jawabku.
“Kenapa, Lan? Sudah lama sekali kamu tidak merasakan segarnya udara luar.”
“Buat apa aku keluar rumah, Tante? Aku tak bisa melihat apa yang ingin aku lihat.” Tante mengerti apa yang baru saja aku ucapkan dan diapun memelukku.
“Tante, Wulan pingin ke makam ibu sama ayah,” pintaku pada Tante.
“Besok Tante antar, Lan. Sekarang kamu tidur ya... Udah malem.”
“Iya, Tante.”
Keesokan harinya aku dan tanteku pergi ke makam ibuku. Walaupun aku sekarang tidak bisa melihat apapun, tapi aku percaya aku bisa melihat indahnya dunia dalam mata hatiku dan mimpiku. Ibuku dulu pernah bilang kalau aku akan lebih bahagia apabila aku bisa mensyukuri apa yang aku punya sekarang, karena masih banyak anak lain yang tak seberuntung aku.
Setiap hari aku melukis, setiap hasil lukisanku di gantung di dinding oleh tanteku. Entah mengapa tanteku melakukan semua itu. Apa dia ingin melihatku bahagia? Memang aku senang tanteku begitu baik sama aku tapi tetap aku ada yang kurang. Andai ibu masih ada, akan ku tunjukkan semua lukisan-lukisanku. Aku ingin sekali melihat lukisanku. Apa benar yang di katakan tanteku bahwa lukisan-lukisanku sangat bagus.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. 2 tahun sudah kulewati hari dirumahku tanpa mengenal dunia luar. Kali ini aku memberanikan untuk pergi ke taman dan melanjutkan lukisanku di taman, mungkin melukis di luar akan membuatku tambah segar.
Ketika aku sedang melukis ada ibu-ibu yang berkata denganku. “Nak, ini bukan warna bulan, warna bulan itu kuning cerah. Ini lebih pantas untuk warna tanaman, tapi lukisanmu indah sekali. Kamu bisa melukis Ibu?”
“Makasih atas pujiannya, Bu. Tapi maaf saya buta, jadi saya tidak bisa melukis wajah Ibu.”
“Ibu minta maaf, Nak, Ibu tidak tahu.”
“Iya, nggak apa-apa kok, Bu.” Setelah aku mengucap kalimat terakhirku, aku tak mendengar lagi suara ibu-ibu tadi. Suara nan lembut dan merdu. Sejenak aku teringat pada ibuku. Ya, itu seperti suara ibuku. Lalu aku bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah aku menceritakan kejadian di taman tadi pada tanteku. Tanteku hanya menangis mendengar ceritaku.
“Mungkin hanya kebetulan saja suara ibu-ibu tadi mirip dengan suara ibumu, Wulan.”
“Tapi itu suara Ibuku, Tante. Aku tau suara Ibuku. Aku juga punya kontak batin dengan ibuku. Itu Ibu, Tante. Ibu masih hidup. Besok Wulan akan pergi ke taman lagi.”
“Ya sudah. Sekarang kamu istirahat saja. Kamu pasti capek dari taman.”
“Iya, Tante.”
Keesokan harinya aku pergi ke taman lagi, namun hingga sore aku tak mendengar suara merdu itu lagi. Tapi aku tak putus asa. Keesokan harinya aku kembali ke taman, namun hasilnya sama saja. Aku tidak mendengar suara merdu itu. Hingga akhirnya aku menyerah karena selama sebulan aku tidak mendengar suara ibu-ibu itu lagi.
Kehidupanku kembali lagi, aku hanya di rumah. Aku sudah mengurungkan niatku untuk pergi ke taman lagi. Hingga suatu hari tanteku bertanya kepadaku.
“Akhir-akhir ini Tante lihat kamu jarang pergi ke taman. Bukankah kamu senang ke taman karena ada ibu-ibu yang mirip dengan suara ibumu?” tanya Tanteku.
“Wulan tidak mendengar suara ibu-ibu itu lagi, Tante. Entah kenapa Ibu itu tidak pergi ke taman lagi.”
“Apa hanya gara-gara tidak ada Ibu itu lagi lalu kamu tidak mau pergi ke taman?”
“Iya, Tante. Karena aku rindu sama ibu. Aku hanya ingin mendengarkan suara ibu-ibu itu.”
“Kamu tak ingin mencari teman?” tanya Tanteku lagi.
“Nggak, Tante. Aku hanya ingin Ibuku.”
“Apa sampai sekarang kamu belum mengikhlaskan ibumu pergi?”
“Belum, Tante. Aku nggak butuh temen. Aku hanya butuh ibu karena bagiku ibu adalah segalanya. Ibu bisa menjadi teman, bisa menjadi guru, bisa menjadi apa yang aku inginkan, Tante,” jelasku selengkap-lengkapnya.
“Iya, Tante mengerti Wulan. Tapi apa kamu akan menggantungkan hidupmu hanya di rumah saja?”
“Aku nggak tau, Tante. Aku mau istirahat dulu, Tante. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,” jawab Tanteku.
***
5 tahun sudah ku lalui kehidupan gelapku. Suatu hari tanteku membawa kabar berita gembira. “Wulan, ada kabar gembira buat kamu,” katanya dengan wajah gembira.
“Apa itu, Tante?” jawabku antusias.
“Ada pendonor yang mau menyumbangkan matanya ke kamu.”
“Serius, Tante?” tanyaku memastikan.
“Iya, Lan, besok orangnya mau datang ke rumah kita,” cerita Tanteku.
“Yaudah. Besok kita siapkan segalanya.”
Keesokan harinya, pihak dari keluarga yang akan mendonorkan matanya kepadaku datang ke rumahku. Kami membicarakan tentang donor mata tersebut. Dan akhirnya setelah aku mendapat donor mata, aku tinggal menunggu kapan operasinya dilaksanakan.
***
Hari ini aku operasi. Aku takut apabila operasinya gagal. Namun akhirnya operasinya berjalan dengan lancar. Aku sangat senang karena sudah sekian lama aku tidak melihat warna dunia luar, yang aku lihat selama ini hanya hitam kelam.
Hari-hari setelah operasi, aku mengawali hidupku yang baru. Memulai lembaran-lembaran baru. Namun aku sadar aku bukan anak yang pandai dalam hal akademik karena aku putus sekolah. Akupun memutuskan untuk terus melukis dan melukis.
Ketika aku sedang melamun di teras rumah, aku teringat waktu aku masih buta dan aku pergi melukis di taman. Ya, aku akan pergi ke taman. Aku berharap setelah aku bisa melihat lagi, aku bisa menemukan ibu-ibu bersuara merdu itu. Aku melukis di taman, melukis seisi taman dan tiba-tiba dari arah belakang aku mendengar suara merdu itu. Aku yakin itu suara ibu-ibu yang waktu itu. Aku menoleh kebelakang dan ibu-ibu itu sedang berbicara dengan seseorang yang duduk di sebelahnya. Saat aku sedang memerhatikan mereka, tiba-tiba ibu itu berjalan menuju ke arahku. Aku bingung harus berbuat apa.
“Kamu yang waktu itu di taman ‘kan? Yang melukis bulan dengan warna hijau?” tanya si Ibu padaku.
“Iya, Bu. Apa Ibu yang meminta saya untuk melukiskan wajah Ibu?” tanyaku penasaran.
“Kamu pasti tidak menyangka wajah ibu seperti ini. Ibu tau kamu ingin menemui ibu lagi karena ingin mendengar suara ibu.”
“Ibu tau dari mana?” tanyaku lagi.
“Sebenarnya sewaktu kamu masih buta, saat kamu pergi ke taman setiap hari, Ibu selau memperhatikanmu dari kejauhan.”
“Kenapa Ibu tidak menemui saya saja?”
“karena ibu tau niatmu itu. Jadi ibu tak mau menemuimu. Ketahuilah, Nak, yang indah tak selamanya indah.”
“Iya, Bu, maafkan saya. Saya merasa suara ibu seperti suara ibu saya yang sudah meninggal jadi saya ingin selalu mendengar suara ibu.”
“Kalau begitu setiap hari pergilah ke taman, karena ibu setiap saat ada di taman.”
“Kenapa ibu selalu di taman?”
“Ibu bekerja sebagai tukang sapu disini, Nak.”
“Rumah ibu dimana?”
“Tak jauh dari taman ini, ibu hanya orang miskin yang tak punya apa-apa, Nak.”
“Bolehkah saya berkunjung ke rumah ibu?”
“Boleh, Nak. Namun rumah ibu kecil dan sempit.”
“Tak apa, Bu. Saya hanya ingin bersilaturahim dengan Ibu,”
“Ya sudah, Nak. Ibu harus bekerja lagi.”
“Trima kasih ya, Bu”
Aku pulang ke rumah penuh dengan rasa bahagia. Ku ceritakan semuanya pada tanteku. Tanteku ikut merasa bahagia karena melihat aku yang sangat bersemangat ketika aku sedang menceritakan kejadian tadi di taman.
***
Sekarang hari-hariku berwarna. Aku mencoba untuk mengikhlaskan kepergian kedua orang tuaku. Dan sekarang aku sudah mempunyai toko lukisan sendiri. Aku sangat senang sudah memiliki penghasilan sendiri, hidupku sudah tak bergantung pada tanteku. Benar kata-kata ibuku, ‘hidup tak selamanya susah dan tak selamanya senang, ada saatnya kita gagal dan ada saatnya kita tersenyum lebar karena keberhasilan kita’. Aku akan selalu ingat kata-kata mutiara ibuku. Aku juga takkan pernah melupakan di saat aku buta.